We Have to Step Forward

SERINGKALI, tanpa sadar, saya menanggapi cerita yang orang dengan cerita lain tentang pengalaman pribadi saya di masa lalu. Benar-benar tanpa sadar. Ketika akhirnya tersadar, merasuklah perasaan bersalah karena sudah demen adu nasib.

Seseorang yang sering hanyut dalam kenangan (dan penyesalan) akan masa lalu, tentu tahu rasanya. Saya pribadi masih amat tradisional dan klasik. Saya menjunjung tinggi tradisi, bahkan pernah ada di kubu yang keras. Mungkin sekarang saya sudah bisa lebih menenangkan syaraf dalam menyikapi perbedaan, tapi butuh usaha ekstra untuk menoleransi perubahan.

Kasus membanding-bandingkan cerita orang di masa kini dengan cerita sendiri dari masa lalu, hanyalah salah satu potretnya. Ada banyak kasus yang melibatkan ranah yang lebih luas lagi. Seperti: bagaimana saya lebih suka pasar tradisional dan pusat perukoan, justru ketika berada di pusat perbelanjaan swalayan. Atau bagaimana saya merasa lebih senang jika react facebook hanya satu, yaitu tombol like saja. Atau bagaimana saya lebih nyaman dengan kehidupan di masa lalu, ketimbang menghidupkan masa sekarang apalagi masa depan.

Tidak jarang rutukan kesal terbit ketika tengah asyik blogwalking dan menemukan bahwa blog yang tengah dibuka adalah blog endorse, atau blog dengan banyak iklan, atau blog dengan judul clickbait, atau blog dengan konten yang lebih mirip artikel situs berita daring yang muter-muter ke sana kemari padahal intinya bisa dipangkas. Pasalnya saya lebih memfavoritkan sebuah blog tradisional; tempat di mana orang menulis bebas selepasnya, menuangkan opini, peristiwa, dan review produk yang murni terlahir dari keinginan dan bukan tuntutan; blog yang digandrungi orang pada masa-masa pertama blog dirintis.

Sebagian keresahan terhadal perubahan yang tidak saya senangi pernah ditumpahkan dalam Dunia yang Serbamaterialis. Pasti semua itu ada hubungannya dengan ketidakmampuan saya dalam mengikhlaskan masa lalu dan menerima perubahan. Bahkan, mimpi-mimpi yang datang dalam tidur pun kebanyakan menyorot tempat serta wajah-wajah lawas yang nyaris buram terbenam memori. Dan, hampir setiap malam pada masa labil, saya seolah pantang terlelap sebelum mengucapkan harapan yang amat mustahil: semoga saya terbangun di tahun 2007.

Memang, sebagai makhluk imajinatif, saya percaya tiada yang tak mungkin bagi Kuasa Tuhan. Apalagi sains juga sudah menyodorkan teorinya sendiri bahwa lubang cacing mampu membawa siapa pun atau apa pun menembusi dimensi ruang dan waktu. Yah, meski belum ada pembuktian. Ilmu supranatural pun tidak kalah memberikan asumsi mereka tentang kehadiran elemen yang disinyalir mampu mengentas dimensi waktu, dan menghijrahkan manusia ke titik yang dituju, hanya dengan melakukan meditasi sampai taraf tertentu.

Saya memang korban cerita dengan trope time travel. Namun, tidak mungkin rasanya Tuhan mau waktu diulang hanya karena satu manusia labil yang terlilit pusaran nostalgia dan terikat penyesalan akan masa lalunya yang malang. Sespesial apa saya? Kalau ada seratus saya di muka bumi ini, seharusnya waktu sudah diputar-putar beberapa kali dan dunia sudah pasti kacau balau.

Semakin ke sini, saya pun belajar bahwa yang harus saya lakukan adalah bangkit dan berdamai. Semakin saya membenamkan diri dalam kekolotan dan tidak kunjung berbenah menanggapi perubahan, saya akan makin tenggelam; terus ketinggalan, sementara orang-orang sudah berjalan jauuuh di depan dan semakin jauuuh saja, karena dunia ini memang dilahirkan dinamis. Ujung-ujungnya, saya malah akan dituntut berlari lebih cepat lagi begitu bangkit sesekali, hanya untuk mengejar ketertinggalan yang tambah lama tambah banyak. Lalu, datanglah penyesalan lain berupa: kenapa saya enggak ikutan start dari awal?

Tiada yang salah dengan bernostalgia, memang. Yang tidak boleh adalah kelewat berkubang di dalamnya dan enggan menerima kenyataan bahwa apa-apa sudah berubah dan terus berubah, seperti saya yang gemar memupuk kekolotan dalam hampir separuh jiwa saya.

Kenyataannya, sekalipun pada dasarnya waktu hanyalah bentukan untuk menghitung, tetap akan ada hal yang tertinggal di balik punggung, yang tidak akan bisa kita ambil kembali kalau kita tidak mau tambah menyesal. There’s no a permanent thing, even if it’s named as one. Everything will be grown up and changed, so we have to grow and change too, and we have to adapt to growths and changes.

Hidup itu sendiri adalah perubahan. Setiap entitas muncul dari ketiadaan, menjadi ada untuk kelak kembali tiada. Kita terlahir dari bayi yang cuma bisa menangis, perlahan tumbuh untuk merangkak, berjalan, jadi batita, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, menua dan renta. Kita hidup dengan menyaksikan berbagai macam perubahan, orang datang lalu pergi, pergi lalu kembali, bertemu wajah baru, ilmu pengetahuan baru, kehilangan yang juga baru. Kita singgah dari satu hati manusia ke hati manusia yang lain, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pos ke pos lain.

Kesalahan saya adalah satu-satunya konsistensi yang saya miliki justru konsisten dalam menolak perubahan, padahal satu-satunya konsistensi yang harus kita pertahankan adalah konsisten dalam pertumbuhan dan perkembangan.

Kalau orang-orang menulis demi uang, so what? Dunia memang sudah materialis. Atau mungkin saja materi sudah jadi passion orang-orang.

Kalau sekarang lebih banyak mal dan toko swalayan, bahkan belanja daring, so what? Dunia memang sudah praktis. Atau mungkin saja kepraktisan adalah passion orang-orang.

Kalau sekarang apa-apa jadi lebih mahal, so what? Dunia memang sudah hedonis. Atau mungkin hedonisme sudah jadi passion orang-orang.

Tren tidak akan ada kalau tidak ada yang memulai dan mengikutinya. Orang sudah memulai dan mengikutinya, maka artinya, tren itu memang digandrungi dan sudah semestinya ada. Salah atau benar hanyalah relativitas dalam bidang ini.

Bagaimana Beradaptasi dengan Perubahan?

Makhluk yang memegang nilai tradisional seperti saya amat sulit untuk menghadapi perubahan dalam hidup. Bahkan, rasanya, jika saja saya hidup di masa Nabi dan bukannya sekarang, saya mungkin akan jadi orang yang membangkang dari pembaruan ajaran yang dibawakan Nabi. Itulah mengapa saya menolak untuk menghujat mereka yang saya rasa lebih kolot. Saya merasa saya juga kolot, hanya saja kekolotan saya ada di aspek yang berbeda.

Sekolot apa pun kita, seberapa gencar pun kita menolak dan menutup diri, kenyataan tidak akan berubah; perkembangan dan perubahan tidak bisa dihindari. Menolak perubahan yang tidak kita harapkan malah semakin melahirkan stres. Kita harus sadar bahwa hanya karena kita tidak memiliki sumber daya dan keberanian untuk menghadapinya, dunia tidak akan menunggu sampai kita siap. Apa pun itu, yang harus saya lakukan adalah menoleransi, menerima, dan beradaptasi dengan perubahan yang ada.

Proses Adaptasi untuk Berubah

Seperti yang dikatakan Laura, tokoh dalam buku Lyrebird karangan Cecelia Ahern: “Kau harus berubah seiring perubahan itu sendiri“. Namun, semuanya tidak langsung berjalan seketika. Tidak ada yang instan. Kita mungkin perlu melalui prosesnya. Setiap kita dihadapkan pada kesulitan dan perubahan yang tidak diinginkan, umumnya kita akan melalui empat fase.

Denial
Kita merasa terancam dengan situasi, keyakinan, cara hidup, atau cara kita bekerja. Di sinilah timbul stres dan kecemasan.

Defense
Usai menolak segala macam perubahan, biasanya kita mati-matian mempertahankan kebiasaan, keyakinan, cara hidup, atau cara kerja kita yang lama.

Acceptance
Ujungnya kita harus berhenti menolak perubahan. Kita bersedia menerima perubahan dan mencoba mencari serta mencuri secuil pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapi perubahan itu.

Adaptation
Setelah belajar menerima, akhirnya kita mendapatkan pengetahuan akan keuntungan dan kerugian dari perubahan itu. Dengan pengetahuan yang baru, kita mampu beradaptasi dan mencoba untuk tetap survive dalam pusaran perubahan.

The species that survives is the one that is able best to adapt and adjust to the changing environment in which it finds itself.

Leon C. Megginson

Kemampuan Beraptasi terhadap Perubahan Bisa Dilatih

Saya belajar bahwa dalam bidang psikologi, kecerdasan terbagi menjadi crystalline intelligence dan fluid intelligence. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh psikolog Raymond B. Cattell dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Horn.

Crystalline intelligence meliputi penggunaan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman, dan mengacu pada kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran atau pengalaman masa lalu. Sementara itu, fluid intelligence adalah kemampuan untuk menalar, menganalisis, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan situasi baru.

Saat kita menggunakan fluid intelligence, kita tidak mengandalkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya, kita menggunakan logika, pengenalan pola, dan pemikiran abstrak untuk memecahkan masalah baru. Itulah mengapa fluid intelligence dianggap penting dalam banyak bidang kognitif dan merupakan faktor penting dalam pembelajaran. Fluid inteligence inilah yang akan dikerahkan setiap kali kita mencoba beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Berita baiknya, ia bisa dilatih.

Kecerdasan adalah kemampuan beradaptasi terhadap perubahan.

Stephen Hawking

Mau Tidak Mau, Manusia Memang Harus Beradaptasi

Mengeluh, marah, merutuki perubahan dan sebagainya tidak membuat semuanya kembali seperti apa yang saya mau pada zona nyaman saya. Tak ada yang salah dari mengeluh, itu hak segala bangsa. Namun, saya sadar bahwa tidak semestinya saya terlalu lama berkubang dalam kebencian pada perubahan. Perubahan bakal terus ada. Kesempatan yang saya punya lebih baik saya manfaatkan untuk belajar beradaptasi. Karena mau tidak mau, kita memang harus maju.

Sedikit tips dari pribadi yang pernah kesulitan beradaptasi:

  • Berdamai dengan masa lalu. Kita perlu menerima bahwa tidak ada yang bisa kita ubah dari hal yang sudah kita punggungi. Dengan bentukan pemikiran semacam ini, saya belajar bahwa setiap detik yang saya punya itu berharga.
  • Keluar dari zona nyaman. Setiap perubahan membutuhkan rasa sakit dan pengorbanan. Mental konformisme untuk terus mencari keamanan dan kenyamanan terkadang membelenggu kita dalam kotak bencana.
  • Kita akan mengalami kesulitan. Pasti. Maka, mari kita memulai pelan-pelan. Biarpun lambat, yang penting kita terus memacu langkah.
  • Membuat daftar evaluasi yang memuat kelebihan atau perbaikan. Ini sangat membantu saya sejauh ini. Dalam list perbaikan saya, saya bisa melihat visi yang selama ini buram, sebab saya sudah menkonkritkan apa yang selama ini abstrak ke dalam bentuk pola yang bisa saya pelajari.
  • Fokuskan energi untuk bangkit, alih-alih berkubang dalam penentangan terlalu lama. Ingat, tidak ada yang menunggu kita.
  • Namun, kita bisa ambil rehat sewaktu-waktu kalau kita butuh. Dan, dalam momen rehat itu, kita bisa kembali mempelajari daftar evaluasi untuk nanti lanjut berlari.

Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan tidak berarti mengubah pikiran kita atau menanggalkan baju yang lama. Ini lebih condong pada meninjau kembali keyakinan dan kebiasaan kita untuk meninggalkan yang tidak lagi berguna. Mari bangkit, belajar untuk lebih baik, beradaptasi, dan mengejar ketertinggalan bersama.


Referensi:

Toughtco.com. Fluid Versus Crystallized Intelligence: What’s the Difference? diakses pada 18 Januari 2021

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.